top of page

Dunia (Tidak) Mungkin Seburuk Ini

  • Writer: Frajna Puspita
    Frajna Puspita
  • May 29, 2022
  • 3 min read

Updated: Sep 12, 2022


Women sitting by the beach
Personal Photo Collection | Nikon FM2 with Ilford 400 Film

Krisis iklim, berita-berita kotroversial berbumbu sensasi, meruaknya varian virus baru, dan berbagai macam berita negatif lainnya seringkali ditemukan berseliweran di media akhir-akhir ini. Dari pemberitaan-pemberitaan tersebut, saya sempat terjatuh ke dalam bias negatif sehingga menarik kesimpulan bahwa dunia (mungkin saja) memang semakin memburuk. Pikiran saya mulai berkecamuk dan berpikir bahwa dunia memang akan berakhir sebentar lagi — meskipun saya tahu hal tersebut belum tentu benar. Namun, di dalam kecamuk berbagai pikiran, saya menyadari adanya sebuah fenomena dibalik peristiwa; bahwa ketika sebuah peristiwa besar muncul di permukaan, reportase krisis pasti akan menjadi-jadi. Berbagai pemberitaan — entah itu relevan maupun tidak, berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian calon pembaca; judul-judul yang mengundang perhatian, mengadakan polling di media sosial, tanya-jawab dengan para ahli, ditambah lagi dengan penyiaran secara terus-menerus membuat opini menjurus ke berbagai arah seperti kumpulan lebah bising yang sedang mabuk. Hal ini juga semakin diperparah dengan adanya komunikasi dua-arah antara media dan pembaca. Semua orang bebas menilai dari apapun yang dilihatnya. Di antara peleburan fakta dan opini dari keduanya, pandangan akan dunia menjadi terdistorsi dan tentu saja semakin negatif. Solusi dari hal ini adalah dengan melihat berdasarkan fakta. Namun, tentunya tidak akan semudah itu. “Dalam mengembangkan perspektif tentang dunia berdasarkan fakta, tantangan terbesarnya adalah menyadari bahwa hal-hal yang kamu percayai sebenarnya telah disaring terlebih dahulu oleh media massa — yang sangat suka menyiarkan hal-hal yang tidak representatif dan sangat menghindari normalitas." —Hans Rosling, dalam "Factfulness" Para jurnalis seringkali menggunakan teknik selective reporting, yaitu ketika fakta-fakta yang mereka temukan sengaja tidak dilaporkan secara lengkap dan akurat, hal ini dilakukan semata-mata untuk menarik perhatian pembaca. Hal tersebut mampu mengakibatkan bias di antara para pembaca dan memicu opini negatif. “Kita adalah sasaran empuk berita-berita negatif dari seluruh dunia: perang, kelaparan, bencana alam, kesalahan politik, korupsi, pemotongan anggaran, penyakit, dan terorisme,” papar Rosling. Lantas, mengapa kita sangat tertarik pada hal-hal negatif? Ini karena otak kita sudah ‘diprogram’ untuk menjadi negatif. Bahkan hal ini dimulai sejak kita masih bayi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi berumur beberapa bulan cenderung lebih memperhatikan ekspresi wajah dan nada suara yang positif, tetapi hal ini mulai berubah saat mereka mendekati usia satu tahun. Psikolog John Cacioppo juga mengklaim bahwa informasi negatif menyebabkan lonjakan aktivitas di area pemrosesan informasi penting di otak, "Perilaku dan sikap kita sangat diperngaruhi oleh berita, pengalaman, dan informasi buruk", lanjutnya. Hal ini berakar dari hasil evolusi manusia yang berangkat dari 'manusia gua', kecenderungan manusia untuk lebih memikirkan hal negatif daripada positif semata-mata hanyalah salah satu cara otak untuk membuat kita merasa aman dan terhindar dari situasi berbahaya. Namun, pemberitaan tersebut benar, bukan? Hal-hal yang diberitakan benar-benar terjadi. Ya, benar sekali. Dunia memang buruk, tapi bukan berarti ia sepenuhnya buruk. Dunia masih berkembang dan akan terus begitu hingga nanti. BBC memaparkan banyak alasan mengapa dunia sebenarnya lebih baik dari beberapa dekade sebelumnya, salah satunya adalah tingkat kematian anak-anak yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Perlu diingat bahwa hal ini bukan berarti kita harus menyeimbangkan berita buruk dengan berita baik — karena itu sama saja mengarah ke bias lain dan terdengar munafik. Namun, saat ini mempertahankan sikap netral merupakan hal yang paling penting. Dunia tidak menjadi lebih buruk saja atau sebaliknya, tetapi dunia adalah keduanya. Lebih jelasnya, Rosling menjelaskan hal ini ibarat ‘seorang bayi prematur dalam inkubator’. Status kesehatan bayi tersebut dalam keadaan sangat buruk. Pernapasan, denyut jantung, dan hal-hal penting lainnya terus-menerus diperiksa agar perkembangan kondisinya — entah baik atau buruk, cepat diketahui. Setelah satu minggu, keadaan bayi tersebut lebih baik, namun ia harus tetap berada dalam inkubator karena kesehatannya masih kritis. ‘Bayi’ itu baik dan buruk di saat yang bersamaan. Dunia ini memang cukup kompleks untuk dimengerti. Krisis iklim memang sedang terjadi. Kenyataan bisa saja kontradiktif dari yang kita pahami dan semua hal berjalan secara beriringan. Pada situasi tertentu, keberpihakan justru memicu miskonsepsi dan solusi yang paling tepat adalah melihat dunia seperti apa adanya.

Comments


© 2022 by Frajna Puspita Firdaus

bottom of page