top of page

Paradoks Sehari-hari: Rutinitas yang Menjebak

  • Writer: Frajna Puspita
    Frajna Puspita
  • May 29, 2022
  • 3 min read

Updated: Sep 12, 2022


Lala Bohang Book
Cardemile’s Personal Archives


"Repetitiveness becomes a default feeling, an emotion, and sometimes the pain on my back or my weekly migraine. That’s how I understand it. Nothing is fully understandable and unacceptable."

— Lala Bohang

Kutipan di atas saya ambil dari penggalan kalimat di buku Waking Up For The First Time karya Lala Bohang. Sepertinya, saya membaca buku ini di saat yang tepat, karena akhir-akhir ini — jujur saja, siklus hidup saya yang terus berulang terasa sangat monoton karena terbentuk dari rutinitas dan kebiasaan yang kurang bisa saya nikmati.

Rutinitas merupakan hal yang baik. Sebagai manusia, kita terbentuk dari kebiasaan yang didasari oleh rutinitas. Oleh karena keterbiasaan itu, kita merasa aman dan nyaman dalam menjalani hidup sesuai dengan kemauan masing-masing. Dari rutinitas kita bisa memperhitungkan hal yang akan terjadi dan mengukur harapan agar tidak berujung kecewa. Dari rutinitas pula, kita bisa menyederhanakan kompleksitas hidup yang kita alami agar bisa diatasi. Namun, rutinitas ini kemudian menciptakan sebuah pola yang terus berulang. Tidak ada lagi jalan keluar lain sehingga muncul sebuah perasaan terjebak. Kita mungkin ingin terlepas dari kungkungan itu, tetapi terkadang jeratannya sangat erat dan terlalu sulit untuk dilepaskan.

Contoh umumnya, ketika berada di usia 20-an, semangat untuk mencapai tujuan hidup sedang berada di titik tertinggi, seluruh hidup akan dipusatkan hanya untuk bekerja. Bangun di pagi hari lalu bekerja hingga sore hari, and life happens in between… Mungkin saat bekerja seringkali menghadapi atasan yang menjengkelkan dan orang-orang yang susah diajak bekerja sama. Ini tentunya menguras fisik dan mental. Kemudian hal ini akan terulang lagi keesokan harinya. Perasaan lelah mulai muncul karena terus menghadapi konflik batin dan konflik lainnya, dan pada akhirnya rutinitas bekerja menjadi ritual yang membosankan. Rutinitas ini berlangsung terus menerus, berbulan-bulan, hingga akhirnya perasaan hampa itu mulai mencuat ke permukaan.

Ketika hidup sudah dipusatkan untuk bekerja, kita harus mencari sebuah kondisi yang di mana kita bisa mengontrol ketidaknyamanan yang dialami saat bekerja. Kita harus mencoba ‘nyaman dalam kurungan’. Jadi, mungkin memantapkan hati untuk fokus menyelesaikan pekerjaan adalah pilihan yang terbaik. Hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk menopang hidup dan melawan perasaan terjebak itu. Cukup ironis karena gairah untuk hidup sudah hilang di saat yang bersamaan. Menjalani pekerjaan yang tidak nyaman dan mengekang hampir sama tidak enaknya dengan mencari-cari pekerjaan dan hidup dalam ketidakpastian. Setiap hari hanya mampu mengharapkan yang terbaik.

Masing-masing dari kita terjebak dalam dunia utopis sendiri akibat kungkungan itu, bahwa “Saya akan bertahan” atau “Saya akan baik-baik saja” adalah kata-kata yang menenangkan. Namun, ketika kita merasa bahwa realitas berkata sebaliknya, ini hampir sama saja seperti membohongi diri sendiri. Lalu apa yang harus dilakukan untuk keluar dari kungkungan ini?

Di saat mencoba bertahan, terkadang banyak hal yang luput dari perhatian. Seperti kondisi mental yang sedang turun, nilai hidup yang tidak lagi sejalan dengan apapun yang dilakukan, atau mungkin ada konflik batin yang diabaikan begitu saja. Itu yang membuat kita menolak perubahan, dan tanpa disadari kita mulai melumpuhkan diri sendiri.

Setiap tahun, saya mengalami beberapa siklus ‘terjebak’ dalam lingkaran ini. Namun, ketika saya melihat lebih dalam, saya menyadari bahwa hal ini memang sudah sewajarnya ada, toh manusia tidak mungkin berada di satu titik terus menerus. Dari beberapa siklus ini pula, saya menyadari bahwa saya merasa terjebak karena berpikir untuk menjadi sesuatu yang bukan diri saya saat ini.

"What you resist, persists."

— Carl Jung

Istilah kerennya, Law of Attraction. Menurut law of attraction, banyak di antara kita yang tanpa disadari mengkhianati kebaikan kita sendiri dengan berfokus pada hal-hal yang tidak kita inginkan atau tidak sukai tentang pengalaman hidup kita. Bahkan ketika kita terfokus untuk tidak merasa terjebak, kita akan tetap merasa terjebak karena pusat perhatian kita adalah perasaan terjebak itu.

Saya sangat menyukai Naval, karena di beberapa bagian dari kehidupan saya, petuah Naval cukup menampar pandangan saya tentang hidup. Katanya, “The world only reflects your feelings back at you”. Apa yang paling kamu fokuskan (dalam hal emosi dan energi yang intens), akan kamu dapatkan kembali dalam frekuensi yang sama. Dan menurut saya memang benar adanya. Di saat saya merasa terjebak dan tidak bahagia, fokus saya hanyalah perasaan itu dan tidak yang lain. Saya tidak melihat bahwa di sisi lain saya masih mempunyai banyak kesempatan dan hal baik yang bisa saya pelajari dari hal ini.

Mungkin, perasaan terjebak adalah pertanda bahwa kita harus rileks dan kembali mengenali diri sendiri, dengan begitu kita bisa kembali fokus untuk melakukan apapun yang membuat kita bahagia.

Hidup itu tidak melulu soal mencapai sesuatu. Terkadang, hidup itu tentang bagaimana kita bisa beristirahat sejenak dan membiarkan hidup berjalan sesuai dengan alurnya.


Comments


© 2022 by Frajna Puspita Firdaus

bottom of page